"MENGENAL SUKU
JAWA"
D
I
S
U
S
U
N
OLEH :
Nama
Kelompok
1.Reihaadi
2.Sri
Rahayu zoratul
3.Viona
Septiani
4.Wisnu
Setiawan
5.yunisa
Rahma putri
KELAS
:
SMA
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb
Dengan memanjatkan puji
syukur kepada Allah Yang Maha Esa penulis dapat menyelesaikan tugas pembuatan
makalah yang berjudul “Mengenal Suku Jawa” dengan lancar.
Dalam pembuatan makalah
ini, penulis mendapat bantuan dari berbagai pihak, maka pada kesempatan ini
penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada teman – teman,
Ayah dan Ibu yang telah memberi dukungan sehingga makalah ini bisa selesai
dengan lancar, sehingga pembuatan makalah ini dapat terselesaikan. Dan semua
pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu yang membantu pembuatan
makalah ini.
Akhir kata semoga makalah
ini bisa bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan penulis pada khususnya,
penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih jauh dari sempurna
untuk itu penulis menerima saran dan kritik yang bersifat membangun demi
perbaikan kearah kesempurnaan. Akhir kata penulis sampaikan terimakasih.
Wasslamu’alaikum Wr. Wb
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN
JUDUL.........................................................................................
i
KATA
PENGANTAR.....................................................................................
ii
DAFTAR
ISI....................................................................................................
iii
BAB
I PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang...............................................................................
1
B. Rumusan Masalah..........................................................................
1
C. Tujuan............................................................................................
2
BAB II PEMBAHASAN
1. Peralatan dan perlengkapan hidip................................................
4
2. Mata pencaharian hidup dan system
ekonomi............................. 3
3. System
kemasyarakatan............................................................... 3
4. Bahasa..........................................................................................
7
5. Kesenian....................................................................................
11
6. System
penegtahuan..................................................................
16
7. System
religi..............................................................................
17
BAB II PENUTUP
Kesimpulan.........................................................................................
23
Saran...................................................................................................
24
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kebudayaan, suatu istilah
yang mungkin sudah tidak asing lagi di telinga kita. Istilah yang berasal dari
bahasa sansakerta “buddhayah” yang berarti budi atau akal. Sementara kebudayaan
itu sendiri kurang lebih memiliki makna semua hasil dari karya, rasa, dan
cita-cita masyarakat.
Indonesia adalah negeri yang sangat kaya, dengan
17.548 pulau yang membentang membuat Indonesia memiliki sumber daya alam yang
begitu melimpah ruah baik dari darat maupun dari laut.Dengan jumlah pulau yang
begitu banyak yang dipisahkan dengan lautan yang begitu luas, tidak heran
Indonesia juga kaya akan kebudayaan yang begitu beraneka ragam dari budaya Aceh
hingga budaya Papua.
Suku Jawa, sebagai salah satu suku bangsa
terbesar di Indonesia dengan jumlah mencapai hampir seratus juta, dan juga
kebudayaanya yang telah lahir selama berabad-abad, memiliki kebudayaan yang
begitu beraneka ragam, dan pasti membuat takjub orang yang melihatnya. dan
budaya itu masih tetap lestari karena diwariskan kepada generasi selanjutnya.
Dalam makalah ini, kami akan
membahas mengenai kebudayaan dalam masyarakat Jawa yang dikaji dalam 7
(tujuh) unsur kebudayaan seperti peralatan dan perlengkapan hidup, mata
pencaharian dan sistem ekonomi, sistem kemasyarakatan, bahasa, kesenian, sistem
pengetahuan, dan religi.
B. Rumusan Masalah
Setiap pembuatan makalah
tentu memiliki permasalahan yang akan dibahas. Permasalahan yang akan saya
bahas diantaranya:
1. Apakah peralatan dan
perlengkapan hidup manusia yang dipakai oleh masyarakat Jawa ?
2. Apakah mata pencaharian hidup
dan sistem ekonom yang digunakan oleh masyarakat Jawa ?
3. Bagaimana sistem
kemasyarakatan yang ada di masyarakat Jawa ?
4. Apakah Bahasa sehari-hari
masyarakat Jawa ?
5. Apakah jenis kesenian
yang berkembang di masyarakat Jawa ?
6. Bagaimana sistem pengetahuan
yang berkembang di masyarakat Jawa ?
7. Apakah sistem religi yang
terdapat di masyarakat Jawa ?
C. Tujuan
Adapun tujuan kami dalam penulisan makalah ini
antara lain:
1. Mengetahui peralatan dan
perlengkapan hidup manusia yang dipakai oleh masyarakat Jawa.
2. Mengetahui mata pencaharian
hidup dan sistem ekonom yang digunakan oleh masyarakat Jawa.
3. Mengerti sistem
kemasyarakatan yang ada di masyarakat Jawa.
4. Mengerti Apakah Bahasa
sehari-hari masyarakat Jawa .
5. Mengetahui jenis kesenian
yang berkembang di masyarakat Jawa.
6. Mengetahui sistem pengetahuan
yang berkembang di masyarakat Jawa.
BAB II
PEMBAHASAN
Berbicara mengenai suku Jawa,
yang merupakan suku bangsa terbesar di Indonesia. Di tahun 2004 saja, telah
tercatat lebih dari 90 juta lebih orang yang bersuku bangsa Jawa. Beberapa
orang pasti menyangka bahwa yang dimaksud dengan suku Jawa adalah orang-orang
yang lahir, mendiami daerah wilayah Jawa Tengah dan menggunakan bahasa ibu
bahasa Jawa. Padahal, daerah kebudayaan Jawa itu luas, meliputi seluruh bagian
tengah dan timur dari pulau Jawa. walaupun pada kenyataanya, tetap saja tampak
perbedaan karakteristik antara orang-orang yang mendiami daerah Jawa Tengah dan
Yogyakarta, dengan orang-orang yang mendiami daerah Jawa Timur. Selain suku
bangsa Jawa, ada juga subsuku dari suku bangsa ini, yaitu suku osing dan suku
tengger.
Di kalangan masyarakat,
tercipta stereotip tentang perangai orang Jawa yang begitu halus, sopan dan
pasrah menjalani hidup atau nrimo, Sifat ini konon berdasarkan watak
orang Jawa yang berusaha untuk menjaga harmoni atau keserasian juga
menghindari konflik. Mereka cenderung diam dan tidak banyak berkomentar untuk menghindari
konflik.
Sistem kekerabatan yang
digunakan oleh orang Jawa pada umumnya adalah Patrilineal, atau menggunakan
garis keturunan dari pihak ayah. Hal ini sama seperti kebanyakan suku di
Indonesia, seperti suku Batak.
Dalam kehidupan nasional pun,
eksistensi orang-orang yang berasal dari suku Jawa tidak perlu diragukan lagi,
mereka memegang banyak peranan penting dan posisi strategis di pemerintahan,
tatanan sistem politik, sampai dengan dunia hiburan. Misalnya saja, lima dari
enam orang presiden yang pernah memerintah di Indonesia adalah orang Jawa.
mulai dari Soekarno, Soeharto, abdurahman Wahid, Megawati Soekarno Putri,
hingga Susilo Bambang Yudhoyono. Dan tokoh-tokoh lainya seperti Sri Mulyani
Indrawati, Khofifah Indar Parawangsa, Anggun C Sasmi, bahkan Michelle Branch,
yang kita kenal sebagai penyanyi internasional pun ternyata memiliki garis
keturunan orang Jawa.
1. Peralatan dan perlengkapan hidip
Sebagai suatu kebudayaan,
suku Jawa tentu memiliki peralatan dan perlengkapan hidup yang khas diantaranya
yang paling menonjol adalah dalam segi bangunan. Masyarakat yang bertempat
tinggal di daerah Jawa memiliki ciri sendiri dalam bangunan mereka, khususnya
rumah tinggal. Ada beberapa jenis rumah yang dikenal oleh masyarakat suku
Jawa, diantaranya adalah rumah limasan, rumah joglo, dan rumah serotong. Rumah
limasan, adalah rumah yang paling umum ditemui di daerah Jawa, karena rumah ini
merupakan rumah yang dihunu oleh golongan rakyat jelata. Sedangkan rumah Joglo,
umumnya dimiliki sebagai tempat tinggal para kaum bangsawan, misalnya saja para
kerabat keraton.
Umumnya rumah di daerah Jawa
menggunakan bahan batang bambu, glugu (batang pohon nyiur), dan kayu jati
sebagai kerangka atau pondasi rumah. Sedangkan untuk dindingnya, umum digunakan
gedek atau anyaman dari bilik bambu, walaupun sekarang, seiring dengan
perkembangan zaman, banyak juga yang telah menggunakan dinding dari tembok.
Atap pada umumnya terbuat dari anyaman kelapa kering (blarak) dan banyak juga
yang menggunakan genting.
2. Mata pencaharian hidup dan system ekonomi
Tidak ada mata pencaharian
yang khas yang dilakoni oleh masyarakat suku Jawa. pada umumnya, orang-orang
disana bekerja pada segala bidang, terutama administrasi negara dan kemiliteran
yang memang didominasi oleh orang Jawa. selain itu, mereka bekerja pada sektor
pelayanan umum, pertukangan, perdagangan dan pertanian dan perkebunan. Sektor
pertanian dan perkebunan, mungkin salah satu yang paling menonjol dibandingkan
mata pencaharian lain, karena seperti yang kita tahu, baik Jawa Tengah dan Jawa
Timur banyak lahan-lahan pertanian yang beberapa cukup dikenal, karena memegang
peranan besar dalam memasok kebutuhan nasional, seperti padi, tebu, dan kapas.
Tetapi orang Jawa juga
terkenal tidak memiliki bakat yang menonjol dalam bidang industri dan bisnis
seperti halnya keturunan etnis tionghoa. Hal ini dapat terlihat, bahwa pemilik
industri berskala besar di Indonesia, kebanyakan dimiliki dan dikelola oleh
etnis tionghoa.
3. System kemasyarakatan
Dalam sistem kemasyarakatan,
akan dibahas mengenai pelapisan sosial. Dalam sistem kemasyarakatan Jawa,
dikenal 4 tingkatan yaitu Priyayi, Ningrat atau Bendara, Santri dan Wong Cilik.
a. Priyayi ini sendiri konon
berasal dari dua kata bahas Jawa, yaitu “para” dan “yayi” atau yang berarti
para adik. Dalam istilah kebudayaan Jawa, istilah priyayi ini mengacu kepada
suatu kelas sosial tertinggi di kalangan masyarakat biasa setelah Bendara atau
ningrat karena memiliki status sosial yang cukup tinggi di masyarakat. Biasanya
kaum priyayi ini terdiri dari para pegawai negeri sipil dan para kaum
terpelajar yang memiliki tingkatan pendidikan yang lebih tinggi dibandingkan
dengan orang-orang disekitarnya
b. Ningrat atau Bendara adalah
kelas tertinggi dalam masyarakat Jawa. pada tingkatan ini biasanya diisi oleh
para anggota keraton, atau kerabat-kerabatnya, baik yang memiliki hubungan
darah langsung, maupun yang berkerabat akibat pernikahan. Bendara pu memiliki
banyak tingkatan juga di dalamnya, mulai dari yang tertinggi, sampai yang
terendah. Hal ini dapat dengan mudah dilihat dari gelar yang ada di depan nama
seorang bangsawan tersebut..
c. Yang ketiga adalah golongan
santri. Golongan ini tidak merujuk kepada seluruh masyarakat suku Jawa yang
beragama muslim, tetapi, lebih mengacu kepada para muslim yang dekat dengan
agama, yaitu para santri yang belajar di pondok-pondok yang memang banyak
tersebar di seluruh daerah Jawa.
d. Terakhir, adalah wong cilik
atau golongan masyarakat biasa yang memiliki kasta terendah dalam pelapisan
sosial. Biasanya golongan masyarakat ini hidup di desa-desa dan bekerja sebagai
petani atau buruh.
Golongan wong cilik pun
dibagi lagi menjadi beberapa golongan kecil lain yaitu:
- Wong Baku : golongan ini
adalah golongan tertinggi dalam golongan wong cilik, biasanya mereka adalah
orang-orang yang pertama mendiami suatu desa, dan memiliki sawah, rumah, dan
juga pekarangan.
- Kuli Gandok atau Lindung :
masuk di dalam golongan ini adalah para lelaki yang telah menikah, namun tidak
memiliki tempat tinggal sendiri, sehingga ikut menetap di tempat tinggal
mertua.
- Joko, Sinoman, atau Bujangan
: di dalam golongan ini adalah semua laki-laki yang belum menikah dan masih
tinggal bersama orang tua, atau tinggal bersama orang lain. Namun, mereka masih
dapat memiliki tanah pertanian dengan cara pembelian atau tanah warisan.
Pembagian sosial masyarakat
bukan hanya terbagi oleh sistem kebudayaan seperti yang kami tuturkan diatas
saja. Pada tahun 1960-an, seorang antropolog amerika Cliford Geertz pun
mengemukakan pelapisan sosial masyarakat terbagi menjadi tiga yaitu, santri,
abangan, dan priyayi. Yang membedakan kaum santri dengan kaum abangan (walaupun
mereka sama-sama seorang muslim) adalah, jika santri adalah para orang Jawa
yang dididik dengan dasar agama islam yang kuat (karena banyaknya pondok
pesantren yang berdiri di Jawa). sedangkan kaum abangan, walaupun dalam
pendataan mereka menganut kepercayaan sebagai muslim, namun dalam implementasi
sehari-hari mereka lebih mengamalkan ajaran kepercayaan asli yang berkembang di
Jawa, yaitu kejawen.
Selain pelapisan sosial masyarakat, dalam sistem
kemasyarakatan ini kami akan membahas tentang bentuk desa sebagai kesatuan
masyarakat terkecil setelah rt dan rw yang umum ditemui di masyarakat Jawa.
Desa-desa di Jawa umumnya
dibagi-bagi menjadi bagian-bagian kecil yang disebut dengan dukuh, dan setiap
dukuh dipimpin oleh kepala dukuh. Di dalam melakukan tugasnya sehari-hari, para
pemimpin desa ini dibantu oleh para pembantu-pembantunya yang disebut dengan
nama Pamong Desa. Masing-masing pamong desa memiliki tugas dan perananya
masing-masing. Ada yang bertugas menjaga dan memelihara keamanan dan ketertiban
desa, sampai dengan mengurus masalah perairan bagi lahan pertanian warga.
4. Bahasa
Bahasa Jawa, sebagai
bahasa ibu dan bahasa pergaulan sehari-hari masyarakat suku Jawa, ternyata di
dalamnya pun dikenal berbagai macam tingkatan dan undhak-undhuk basa. Sesuatu
yang sebenarnya tidak terlalu asing, mengingat beberapa bahas lain yang berada
dalam rumpun austronesia pun dikenal undhak-undhuk dalam berbahasa.
Terdapat tiga bentuk
utama tingkatan variasi bahasa Jawa, yaitu ngoko (“kasar”), madya (“biasa”),
dan krama (“halus”). Namun , pada tingkat yang lebih spesifik lagi, terdapat 7
(tujuh) tingkatan dalam berbahasa Jawa, diantaranya: ngoko, ngoko andhap,
madhya, madhyantara, kromo, kromo inggil, bagongan, kedhaton. Di antara
masing-masing bentuk ini terdapat bentuk “penghormatan” (ngajengake, honorific)
dan “perendahan” (ngasorake, humilific). Seseorang dapat berubah-ubah
registernya pada suatu saat tergantung status yang bersangkutan dan lawan
bicara. Status bisa ditentukan oleh usia, posisi sosial, atau hal-hal lain.
Seorang anak yang bercakap-cakap dengan sebayanya akan berbicara dengan varian
ngoko, namun ketika bercakap dengan orang tuanya akan menggunakan krama andhap
dan krama inggil. Sistem semacam ini terutama dipakai di Surakarta, Yogyakarta,
dan Madiun. Dialek lainnya cenderung kurang memegang erat tata-tertib berbahasa
semacam ini.
Selain undhak-undhuk
atau tingkatan bahasa, dikenal juga dialek yang berbeda-beda diantara
orang-orang Jawa itu sendiri. Dalam hal ini, perbedaan dialek, dibagi menjadi 3
daerah, yaitu kelompok barat, tengah dan timur. Kelompok barat terdiri dari
dialek Banten, Cirebon, Tegal, Banymas, dan Bumiayu. Kelompok tengah terdiri
dari Pekalongan, kedu, bagelen, Semarang, Pantai Utara Timur (jepara,Demak,
Rembang, Kudus, Pati), Blora, Surakarta, Yogyakarta, Madiun. Sedangkan,
Kelompok dialek timur terdiri dari Pantura Timur (Tuban, dan Bojonegoro),
Surabaya, Malang, Jombang, Tengger, Banyuwangi.
Selain memiliki bahasa tersendiri, masyarakat suku Jawa pun memiliki huruf
tersendiri yang pada umunya mereka gunakan dalam kehidupan sehari-hari
Keberadaan huruf Jawa (juga memiliki kemiripan
dengan huruf Sunda, Bali, dan sasak) yang dikenal sekarang ini, tentu tidak
lepas dari sejarah yang mengiringinya, salah satu cerita tentang sejarah huruf
Jawa ini adalah cerita tentang Ajisaka yang pada awalnya mencipatakan aksara
Jawa yang dikenal dengan istilah dhentawyanjana atau carakan. Aji saka
menciptakan aksara Jawa ini pada saat dia sedang berkelana dengan pengawalnya
yang setia yaitu Dora, dan sampai di pegunungan kendeng. Saat itu dora bertemu
dengan Sembada, sahabatnya. Setelah itu, terjadilah kesalah pahaman yang
mengakibatkan Dora dan Sembada berkelahi karena masing-masing dari mereka ingin
membuktikan siapa dari mereka yang lebih setia kepada aji saka. Dan untuk
mengenang jasa kedua pengawalnya tersebut, aji saka menciptakan sebuah syair
yang kemudian hari menjadi asal mula dari huruf Jawa sekarang ini.
Huruf Jawa atau lebih
dikenal dengan huruf honocoroko ini terdiri dari 20 huruf, dimana setiap huruf
nya memiliki makna tersendiri, diantaranya:
- Ha – Hana Hurip Wening Suci – adanya hidup
adalah kehendak dari yang Maha Suci.
- Na – Nur Gaib, Candra Gaib, Warsitaning
Gaib – pengharapan manusia hanya selalu ke sinar Ilahi.
- Ca – Cipta Wening, Cipta Mandulu, Cipta Dadi –
arah dan tujuan pada yang Maha Tunggal.
- Ra – Rasaingsun Handulusih – rasa cinta sejati
muncul dari rasa kasih nurani.
- Ka – Kersaningsun Memayu Hayuning Bawana –
hasrat diarahkan untuk kesejahtraan alam.
- Dha – Dumadining Dzat kang tanpa winangenan –
menerima hidup apa adanya.
- Ta – Tatas, Titis, Tutus, Titi lan Wibawa –
mendasar, totalitas, satu visi, ketelitian dalam memandang hidup.
- Sa – Sifat Ingsun Handulu Sifatullah –
membentuk kasih sayang seperti kasih Tuhan.
- Wa – Wujud Hana Tan Kena Kinira – ilmu manusia
hanya terbatas, namun implikasinya bisa tanpa batas.
- La – Lir Handaya Paseban Jati – mengalirkan
hidup sebatas pada tuntunan Ilahi.
- Pa – Papan Kang Tanpa Kiblat – Hakikat Allah
yang ada di segala arah.
- Da – Dhuwur Wekasane Endek Wiwitane – Untuk
bisa diaatas tentu dimulai dari dasar.
- Ja – Jumbuhing Kawula Lan Gusti – selalu
berusaha menyatu, memahami kehendaknya.
- Ya – Yakin Marang Samubarang Tumindak Kang
Dumadi – yakin atas titah atau kodrat Ilahi.
- Nya – Nyata Tanpa Mata, Ngerti Tanpa Diuruki –
memahami kodrat kehidupan
- Ma – Madep, Mantep, Manembah, Mring Ilahi –
yakin atau mantap dalam menyembah Ilahi.
- Ga – Guru Sejati Sing Mruki – belajar dari
guru nurani.
- Ba – Bayu Sejati Kang Andalani –
menyelaraskan diri pada gerak alam.
- Tha – Tukul Saka Niat – sesuatu harus tumbuh
dan dimulai dari niatan.
- Nga – Ngracut Busananing Manungso – melepaskan
egoisme pribadi.
Seperti bahasa lainya,
huruf Jawa pun memiliki aturan tersendiri dalam tata cara penggunaanya.
Diantaranya adalah adanya pasangan. Jika aksara Jawa yang akan digunakan
bersifat silabis atau kesukukataan, maka akan susah untuk menuliskan huruf
mati, maka dari itu cara penulisanya digunakan pasangan. Lalu ada juga Aksara
Murda. Fungsi dari aksara murda ini hampir serupa dengan fungsi huruf kapital
pada Bahasa Indonesia. Seperti penggunaan untuk nama orang, dan nama geografi.
Selanjutnya adalah Aksara Swara, fungsi dari aksara swara ini adalah untuk
menuliskan aksara vokal yang menjadi suku kata, terutama yang berasal dari
bahasa asing untuk mempertegas pelafalanya.
Sandangan adalah tanda yang dipakai sebagai pengubah bunyi di dalam tulisan
Jawa. di dalam penulisan bahasa Jawa, aksara atau huruf yang tidak mendapat
sandangan diucapkan sebagai gabungan antara konsonan dan vokal a.
5. Kesenian
Kesenian yang terdapat
dalam kebudayaan Jawa sangat beraneka ragam, mulai dari tari-tarian, lagu
daerah, wayang orang, dan juga wayang kulit, serta masih ada berbagai macam
kesenian lainya.
Yang pertama adalah tari-tarian. Dalam bahasa Jawa, tari disebut dengan kata
beksa yang berasal dari kata “ambeg” dan “esa” kata tersebut mempunyai maksud
dan pengertian bahwa orang yang akan menari haruslah benar-benar menuju satu
tujuan, yaitu meyerahkan seluruh jiwanya pada tarian.
Seni tari di Jawa
sendiri mengalami kejayaan pada masa kerajaan kediri, singasari, dan majapahit.
Pada masa sekarang ini, kota surakarta dianggap sebagai pusat seni tari,
terutama di Keraton Surakarta dan Pura Mangkunegaran.
Seni tari dapat
dibedakan menjadi tiga jenis yaitu:
- Tari Klasik
- Tari Tradisional
- Tari Garapan Baru
Beberapa contoh tarian
sebagai bagian dari kebudayaan suku Jawa antara lain:
- Tari Bedhaya
Tari Bedhaya Ketawang
ini dipercaya diciptakan oleh Sultan Agung, raja pertama dari kerajaan Mataram,
dan disempurnakan oleh Sunan Kalijaga. Tari Bedhaya Ketawang ini, tidak hanya
ditampilkan pada saat penobatan raja yang baru, tetapi juga tiap tahunya, yang
bertepatan dengan hari penobatan raja atau ratu.
Pada pementasan tari Bedhaya Ketawang, digunakan kostum Dodot Ageng dengan
motif Banguntulak alas-alasan. Dari segi alat musik pengiring pun sangat
spesial, karena digunakan yaitu gamelan Kyai Kaduk Manis dan Kyai Manis Renggo.
Pada zaman Sri
Susuhunan PakuBuwono XII, pertunjukan tari Bedhaya Ketawang, selalu
diselenggarakan pada hari kedua bulan Reuwah atau bulan Syaban dalam kalender
Jawa.
- Tari Srimpi
Tarian ini tidak
diketahui dengan pasti sejak kapan muncul di lingkungan keraton. Tetapi
diperkirakan mulai ada saat Prabu Amiluhur masuk ke keraton. Tarian ini
dipentaskan oleh empat orang putri yang melambangkan empat unsur, dan empat
penjuru mata angin.
Dari beberapa jenis tari Srimpi, ada satu yang dianggap sakral atau suci, yaitu
Tari Srimpi Anghlir Mendhung.
- Tari Pethilan
Tari Pethilan adalah
suatu tarian yang gerakanya terinsipirasi atau mengambil salah satu bagian dari
cerita pewayangan. Dalam pementasanya, tarian ini boleh memiliki gerakan yang
sama atau tidak antar penarinya, boleh menggunakan ontowacono atau dialog dalam
tarianya, pakaian yang digunakan tidak sama ssetiap penarinya, kecuali yang
memerankan lakon kembar. Dalam kisah yang termuat dalam tarian pun, ada peran
yang mati dan yang tetap bertahan hidup.
- Tari Golek
Tari ini berasal dari
Yogyakarta, dan pertama kali dipentaskan pada perayaan pernikahan KGPH
Kusumoyudho dan Gusti Ratu Angger di tahun1910. Tarian ini menggambarkan
cara-cara berhias diri seorang gadis yang baru memasuki masa dewasanya, agar
terlihat lebih cantik dan menarik.
- Tari Bondan
Tari Bondan memiliki
tiga jenis, yaitu Bondan Cindogo, Bondan Marsidiwi, dan Bondan Pegunungan atau
Tani. Tari Bondan Cindogo dan Marsidiwi, merupakan tarian gembira, dibuat untuk
mengungkapkan kegembiraan atas kelahiran anak.
- Tari Topeng
Tarian ini sebenarnya
secara tidak langsung diilhami oleh wayang wong, atau wayang orang. Tarian ini
sempat mengalami kejayaan pada masa kerajaan majapahit. Lalu pada masa masuknya
islam, sunan kalijaga menggunakanya sebagai media penyebaran islam. Beliau juga
lah yang menciptakan 9 jenis tari topeng diantaranya: Topeng Panji
Ksatrian, Condrokirono, Gunung sari, Handoko, Raton, Klono,Denowo, Benco, dan
Turas.
Tari topeng sendiri
dianggap sebagai perlambang sifat manusia, karena banyaknya model topeng yang
menggambarkan emosi manusia yaitu marah, sedih, kecewa, dll. Biasanya cerita
yang diangkat dalam tari topeng adalah bagian dari hikayat atau cerita rakyat,
terutama cerita-cerita panji.
- Tari Dolalak
Tarian ini dipentaskan
oleh beberapa penari yang mengenakan kostum ala parjurit Belanda atau Prancis
tempo dulu, dan diiringi oleh alat musik seperti kentrung, rebana, kendang,
kencer, dll. Menurut legenda, tarian ini terinspirasi dari semangat perjuangan
perang rakyat aceh yang kemudian meluas ke daerah lain di nusantara.
Kedua, adalah berbagai macam kesenian rakyat yang dikenal di masyarakat Jawa,
baik Jawa Tengah maupun Jawa Timur.
Patolan atau prisenan yang dikenal di daerah rembang, Jawa Tengah. Kesenian ini
adalah semacam olahraga gulat rakyat, dan dipimpin oleh dua orang wasit dari
masing-masing pihak. Olahraga yang juga hiburan ini biasanya dimainkan di
tempat berpasir seperti di pinggir pantai.
Daerah blora dikenal
memiliki kesenian barongan, kuda kepang, dan wayang krucil (sejenis wayang
kulit, namun terebuat dari kayu).
Di daerah pekalongan,
dikenal kesenian kuntulan dan sintren. Kuntulan adalah kesenian bela diri yang
dilukiskan dengan tarian dengan iringan bunyi-bunyian seperti bedug, dll.
Sedangkan sintren, yang juga dikenal luas di cirebon, adalah sebuah tarian yang
dipenuhi dengan unsur mistis. Dimana sang penari melakukan gerakan tarian dalam
keadaan tidak sadar. Pertunjukan sintren biasanya dipentaskan pada saat bulan
purnama setelah panen.
Lengger calung, adalah
kesenian tradisional yang berasal dari daerah banyumas. Tarian ini terdiri dari
lengger (penari) dan calung (alat musik bambu). Gerakan tarianya sangat dinamis
dan lincah mengikuti irama dari calung. Beberapa gerakan khas dari tarian
lengger adalah geyol, gedhag, dan lempar sampur. Dahulu penari lengger adalah para
pria yang berdandan seperti wanita, namun sekarang para pria tersebut hanyalah
sebagai pelengkap tarian saja.
Selain kesenian yang
berbentuk tarian, suku Jawa pun memiliki kesenian dalam bentuk lain, misalnya
saja dalam seni musik. Baik berbentuk alat musik khas daerah, maupun berbentuk
lagu-lagu daerah Alat musik yang khas, dan tentu saja paling terkenal dari Jawa
adalah gamelan Jawa. Gamelan Jawa ini memiliki bentuk gamelan yang berbeda
dengan Gamelan Bali ataupun Gamelan Sunda. Gamelan Jawa memiliki nada yang
lebih lembut dan slow, berbeda dengan Gamelan Bali yang rancak dan
Gamelan Sunda yang sangat mendayu-dayu dan didominasi suara seruling. Perbedaan
itu wajar, karena Jawa memiliki pandanganhidup tersendiri yang diungkapkan
dalam irama musik gamelannya. Satu set gamelan biasanya terdiri dari Kendang,
Saron, Bonang, Slentem, Gambang, Gong, Kempul, Kenong, Ketug, Clempung, Keprak,
dan Bedug.
Gamelan Jawa sendiri
memiliki dua jenis yaitu Gamelan Salendro dan Gamelan Pelog. Gamelan salendro
biasa digunakan untuk mengiringipertunj ukan wayang, tari,
kliningan, jaipongan dan lain- lain. Sedangkan Gamelan pelog fungsinya
hampir sama dengan gamelansalendro, hanya kurang begitu berkembang dan
kurangakrab di masyarakat dan jarang dimiliki oleh grup-grup kesenian di
masyarakat
Alat musik khas daerah
berikutnya adalah Jula-Juli. Jula-Juli adalah salah satu gendhing khas dari
Jawa Timur, dan sangat lazim digunakan untuk mengiringi Ludruk dan Tari Remo.
Sedangkan bentuk
kesenian seni musik yang berupa lagu-lagu daerah dari Jawa antara lain: Bapak
Pucung, Cublak-Cublak Suweng, Gambang Suling, Gai Bintang, Gek Kepriye,
Gundul-Gundul Pacul, Lir-ilir, Jamuran, Kembang Malathe, Karapan Sape.
6. System penegtahuan
Salah satu bentuk sistem
pengetahuan yanga ada, berkembang, dan masih ada hingga saat ini, adalah bentuk
penanggalan atau kalender. Bentuk kalender Jawa menurut kelompok kami, adalah
salah satu bentuk pengetahuan yang maju dan unik yang berhasil diciptakan oleh
para masyarakat Jawa kuno, karena penciptaanya yang terpengaruh unsur budaya
islam, Hindu-Budha, Jawa Kuno, dan bahkan sedikit budaya barat.
Namun tetap dipertahankan
penggunaanya hingga saat ini, walaupun penggunaanya yang cukup rumit, tetapi
kalender Jawa lebih lengkap dalam menggambarkan penanggalan, karena di dalamnya
berpadu dua sistem penanggalan, baik penanggalan berdasarkan sistem matahari
(sonar/syamsiah) dan juga penanggalan berdasarkan perputaran bulan
(lunar/komariah).
Pada sistem kalender Jawa,
terdapat dua siklus hari yaitu siklus 7 hari seperti yang kita kenal saat ini,
dan sistem panacawara yang mengenal 5 hari pasaran. Sejarah penggunaan kalender
Jawa baru ini, dimulai pada tahun 1625, dimana pada saat itu, sultan agung,
raja kerajaan mataram, yang sedang berusaha menytebarkan agama islam di pulau
Jawa, mengeluarkan dekrit agar wilayah kekuasaanya menggunakan sistem kalender
hijriah, namun angka tahun hijriah tidak digunakan demi asas kesinambungan.
Sehingga pada saat itu adalah tahun 1025 hijriah, namun tetap menggunakan tahun
saka, yaitu tahun 1547.
Dalam sistem kalender Jawa
pun, terdapat dua versi nama-nama bulan, yaitu nama bulan dalam kalender Jawa
matahari, dan kalender Jawa bulan. Nama- nama bulan dalam sistem kalender Jawa
komariah (bulan) diantaranya adalah suro, sapar, mulud, bakdamulud,
jumadilawal, jumadil akhir, rejeb, ruwah, poso, sawal, sela, dan dulkijah.
Namun, pada tahun 1855 M, karena sistem penanggalan komariah dianggap tidak
cocok dijadikan patokan petani dalam menentukan masa bercocok tanam, maka Sri
Paduka Mangkunegaran IV mengesahkan sistem kalender berdasarkan sistem
matahari. Dalam kalender matahari pun terdapat dua belas bulan .
7. System religi
Agama dan kepercayaan yang berkembang dan
dianut oleh masyarakat Jawa, antara lain islam sebagai agama mayoritas, selain
itu terdapat pula agama lain yang cukup banyak dianut, seperti kristen
protestan, yang cukup banyak dianut oleh masyarakat di sekitar semarang,
surakarta, dan solo. Katolik pun cukup berkembang di kalangan masyarakat Jawa, walaupun
persentase nya tidak sebesar agama kristen protestan. Di daerah pedalaman pun,
berkembang agama hindu dan budha, namun diantara kedua agama tersebut,
persentase pemeluk budha jauh lebih banyak dibanding pemeluk hindu.
Kepercayaan lain yang cukup banyak pemeluknya,
adalah kepercayaan yang bernama kejawen. Kejawen ini, terkadang bercampur
dengan agama islam, sebagai agama mayoritas, sehingga menghasilkan suatu
kepercayaan baru yang bernama islam kejawen. Perbedaan paling mencolok antara
islam santri dengan islam kejawen adalah, pada islam kejawen, mereka tidak
terlalu mewajibkan shalat, puasa, dan naik haji, namun tetap percaya pada
Allah, dan Nabi Muhammad SAW. Kejawen dianggap memiliki makna sebagai segala
sesuatu yang berhubungan dengan adat dan kepercayaan Jawa. pada pandangan umum,
kejawen hanya berisi tentang seni, budaya, tradisi, ritual, sikap, serta
filosofi orang Jawa.
Penganut ajaran kejawen biasanya tidak
menganggap ajarannya sebagai agama dalam pengertian seperti agama monoteistik,
seperti Islam atau Kristen, tetapi lebih melihatnya sebagai seperangkat cara
pandang dan nilai-nilai yang dibarengi dengan sejumlah laku (mirip dengan
“ibadah”). Ajaran kejawen biasanya tidak terpaku pada aturan yang ketat, dan
menekankan pada konsep “keseimbangan”. Dalam pandangan demikian, kejawen
memiliki kemiripan dengan Konfusianisme atau Taoisme, namun tidak sama pada
ajaran-ajarannya. Hampir tidak ada kegiatan perluasan ajaran (misi) namun
pembinaan dilakukan secara rutin.
Simbol-simbol “laku” biasanya melibatkan
benda-benda yang diambil dari tradisi yang dianggap asli Jawa, seperti keris,
wayang, pembacaan mantera, penggunaan bunga-bunga tertentu yang memiliki arti
simbolik, dan sebagainya. Akibatnya banyak orang (termasuk penghayat kejawen
sendiri) yang dengan mudah mengasosiasikan kejawen dengan praktik klenik dan
perdukunan.
Selain kejawen, ada beberapa aliran
kepercayaan kebatinan yang berkembang di masyarakat Jawa, diantaranya adalah:
- Gerakan atau aliran kebatinan yang percaya
pada adanya sosok roh halus, jin, lelembut, dan berbagai makhluk gaib lainya.
Aliran kebatinan yang bersifat keislam-islaman, yang unsur kepercayaanya banyak
mengambil dari unsur ajaran-ajaran agama islam. Dan dibedakan dengan syariat-syariat
islam, yang pada beberapa tempat di Jawa telah terpengaruh unsur budaya
hindu-Jawa.
Aliran yang berbau agama hindu-Jawa. mengapa bisa dikatakan demikian? Karena,
para pengikut aliran ini, mempercayai dan bahkan memuja dewa-dewa dari agama
hindu, walaupun mereka sendiri tidak mengaku bahwa mereka beragama hindu.
- Yang terakhir adalah aliran mistik, dimana
para penganutnya berusaha mencari sendiri cara untuk memaknai tuhan, tanpa
menganut agama apapun.
Selain membahas tentang agama dan kepercayaan
yang dianut oleh masyarakat suku Jawa, pada pembahasan tentang sistem religi
ini, kami juga akan membahas tentang kepercayaan, dan ritual-ritual yang sering
dilakukan oleh orang Jawa.
Upacara Selamatan adalah upacara yang paling
umum dan paling dikenal, bukan hanya di Jawa, Sunda dan beberapa daerah lain
pun mengadakan selamatan untuk situasi-situasi tertentu. Pada dasarnya,
selamatan adalah kegiatan makan bersama, dimana makananya telah lebih dahulu
didoakan sebelum dibagikan. Tujuan selamatan ini sendiri adalah untuk
memperoleh keselamatan dan menjauhi gangguan. Upacara selamatan dibagi menjadi
empat macam yaitu:
a. Selamatan dalam rangka lingkaran hidup
seseorang, dimulai dengan upacara nujuh bulanan, aqiqahan, potong rambut, turun
tanah, terus berputar hingga sampai pada saat kematian orang tersebut, mulai
dari upacara sedekah surtanah, sedekah nelung dina, sedekah mitung dina,
sedekah matangpulung dina, sedekah mendak pisan, dan sedekah nyewu.
b. Selamatan yang diadakan dalam rangka bersih
desa, penggarapan tanha pertanian, dan setelah memanen padi. Selamatan yang
berhubungan dengan hari-hari besar atau hari-hari keagamaan islam. Seperti
muludan, malam satu suro, dll. Selamatan yang dibuat pada waktu-waktu tertentu
dan bersifat insidentil, seperti saat menempati rumah baru, mendapatkan rizki,
dan saat sembuh dari sakit.
c. Sesajen adalah penyerahan sesaji pada waktu,
tempat, dan keadaan tertentu dalam rangka kepercayaan kepada makhluk halus. Tempat-tempat
yang dipilih biasanya dipilih tempat yang keramat, begitupun dengan waktu,
biasanya dipilih waktu-waktu yang dianggap keramat, seperti malam jum’at
kliwon. Sesajen biasanya terdiri dari kembang, kemenyan, cerutu, kopi hitam,
teh, dll yang disimpan dalam besek ataupun daun pisang.
Kepercayaan terhadap kekuatan sakti dari
benda-benda atau makhluuk hidup tertentu (kesakten). Kepercayaan terhadap
kemampuan seperti keris, gamelan, kereta kencana, bahkan pada burung perkutut.
d. Sadran adalah suatu upacara yang dilakukan
oleh masyarakat Jawa baru (juga Sunda, dan madura). Upacara ini dilakukan oleh
orang Jawa, pada bulan sebelum bulan puasa (reuwah/syaban). Upacara ini diisi
dengan acara mengunjungi makam (nyekar) ke makam keluarga, kerabat, atau
orang-orang yang dihormati. Biasanya orang Jawa non-muslim pun ikut melakukan
upacara ini.
e. Ngerak adalah suatu prosesi memandikan anak
kecil berumur di bawah lima tahun (Balita) di sebuah belik dengan kembang 7
rupa. Dari depan rumah sampai tiba di belik, sang anak akan digendong dengan
selendang berwarna kuning. Lalu setelah dimandikan di belik, sang anak akan
dibimbing menaiki sebuah paramida yang berisi mainan, aksesoris dan lain-lain.
Di dekat piramida nanti akan ditempatkan seekor ayam panggang. Uniknya,
kebanyakan dari anak-anak tersebut kebanyakan mengambil bagian kaki dari ayam
panggang tersebut.
f. Mantu Poci adalah sebuah tradisi yang berasal
dari Tegal (pantai utara Jawa Tengah). Sebuah prosesi unik, dimana acara inti
dari prosesi ini adalah melangsungkan pernikahan antara dua poci teh berukuran
raksasa. Prosesi ini biasanya dilakukan oleh sepasang suami istri yang sudah
lama menikah tapi belum juga dikaruniai putra-putri. Mantu poci ini tak berbeda
dengan acara pernkahan biasa yang mengundang banyak kerabat dan handai taulan.
g. Ruwatan adalah tradisi ritual asli dari Jawa
sebagai sarana pembebasan dan penyucian dari segala dosa yang mengakibatkan
kesialan dalam hidup orang yang akan diruwat. Upacara adat khas Jawa ini
diperkirakan berasal dari budaya Jawa kuno yang masih bersifat sinkretisme,
tetapi sekarang ini lebih sering dipadukan dengan ajaran agama agar tidak
menyimpang.
Kutug merupakan ritual membakar kemenyan yang
dilakukan oleh para penganut kepercayaan tertentu dengan tujuan mendapatkan
perlindungan, keselamatan, dan berkah dari Sang Hyang Widi, upacara ini
biasanya dilakukan pada hari-hari tertentu.
h. Ngethingi adalah suatu bentuk tradisi
tasyakuran atau pengucapan syukur ketika moment peringatan terhadap seorang
bayi pada usia tertentu.
i. Malam satu suro adalah peringatan pergantian
tahun dalam kalender Jawa. kalender ini terpengaruh dari kalender islam. Pada
tahun 431 H atau tahun 1443 tahun Jawa baru, sunan Giri dari kerajaan demak,
membuat penyesuaian antara tahun islam dan tahun Jawa.
j. Ngupat atau ngupati adalah upacara adat yang
dilakukan oleh seorang ibu yang sedang mengandung empat bulan yang bertujuan
untuk keselamatan sang ibu dan jabang bayinya, juga untuk menolak bala. Dalam
acara ini, para tamu yang hadir diberikan sajian kupat yang dimasukan ke dalam
wadah yang disebut besek, yang dibagikan saat pulang. Selain ngupat yang
diadakan pada bulan keempat, pada bulan kelima pun ada upacara serupa yang
bernama ngliman. Sedangkan pada bulan ketujuh, diadakan upacara dengan tujuan
serupa yang bernama mitoni atau tingkeban.
k. Mendhem ari-ari adalah prosesi yang dilakukan
setelah sang jabang bayi lahir. Hal ini juga umum dilakukan oleh suku-suku yang
lain di Indonesia. Ari-ari diistimewakan, karena sebagai penghubung antara sang
ibu dengan bayinya di dalam rahim, dalam kepercayaan orang Jawa, mereka
menganggap bahwa ari-ari adalah kembaran atau “sedulur kembar” sang bayi
tersebut. Selain mendhem ari-ari, masih ada beberapa upacara adat atau ritual
yang dilakukan oleh masyarakat Jawa yang berkaitan dengan kelahiran bayi yaitu:
- Brokohan merupakan salah satu upacara adat
Jawa untuk menyambut kelahiran bayi, dengan tujuan agar sang bayi dapat lahir
dengan selamat, diberi perlindungan, juga agar kelak memiliki perangai yang
baik. Rangkaian acaranya dimulai dengan acara mendhem ari-ari, dan dilanjutkan
dengan membagi-bagikan sesajen brokohan kepada kerabat dan tetangga.
- Sepasaran adalah upacara adat yang dilakukan
pada saat si bayi berumur lima hari. Acara ini umumnya diselenggarakan pada
sore hari dengan acara utama membagikan kendhuri dengan mengundang tetangga dan
saudara. Suguhan utama yang biasa disajikan adalah air minum dan jajanan pasar,
namu ada beberapa juga yang menyediakan besek untuk dibawa pulang.
Puputan sebenarnya memiliki arti “tali puser bayi puput”. Acara ini diadakan
pada saat sang bayi lepas tali pusarnya, biasanya dalam acara ini ada kendhuri,
bancakan, dan memberi nama bayi. Acara ini sebaiknya dilaksanakan selepas
maghrib.
- Tedhak siten atau upacara turun tanah, adalah
prosesi selanjutnya. Prosesi ini, tidak hanya ditemukan di kalangan masyarakat
Jawa, di tempat lain di nusantara pun ditemukan upacara demikian. Acara ini
baisanya diadakan pada saat sang anak telah berumur 7 selapan (7×35=245 hari).
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan :
Suku Jawa, salah satu suku
bangsa terbesar di Indonesia, dengan jumlah hampir mencapai 100 juta jiwa, dan
tersebar bukan hanya di pulau Jawa bagian tengah dan timur, melainkan di
berbagai tempat di Indonesia. Sebagai sebuah suku bangsa, suku bangsa Jawa pun
memiliki aneka ragam kebudayaan yang beraneka ragam, mulai dari peralatan dan
perlengkapan hidup, Jawa memiliki bentuk rumah yang khas, dengan rumah limasan,
dan rumah joglonya. Dari sistem ekonomi dan mata pencaharian pun, masyarakat
dari suku Jawa memiliki peranan yang cukup penting di negara ini, begitu banyak
tokoh-tokoh dari Jawa yang memegang peranan penting di negara ini, baik sebagai
pejabat maupun yang duduk di instansi-instansi milik negara. Selanjutnya
bahasa, Jawa dikenal sebagai salah satu suku bangsa yang memiliki sistem bahasa
yang begitu rumit, begitu banyak tingkatan-tingkatan dan kata-kata berbeda
tergantung pada siapa lawan bicara kita, hal ini membuat tidak semua orang
dapat memahami bahasa Jawa, bahkan orang-orang dari Jawa sendiri. Di bidang
kesenian, Jawa juga dikenal memiliki kesenian yang beraneka ragam, mulai dari
seni tari, seni rupa, hingga seni musik, ditambah dengan adanya keraton sebagai
pusat seni bagi masyarakat Jawa.
Dalam sistem kemasyarakatan
Jawa pun, dikenal berbagai pelapisan sosial masyarakat, mulai dari bendara atau
orang-orang ningrat, kaum santri, dan juga wong cilik atau golongan rakyat
kebanyakan. Terakhir, sistem religi yang unik, dan khas, yang tentu saja
berbeda dengan kebudayaan daerah lain. Di Jawa selain masyarakatnya menganut
agama-agama besar, seperti islam, katolik, protestan, di pedalaman-pedalaman
pun cukup banyak masyarakat yang menganut agama hindu (daerah Tengger) dan
Budha. Banyak dari masyarakat Jawa yang menganut suatu kepercayaan asli dari
Jawa yaitu agama Kejawen. Kebanyakan penganut kejawen ini, sebenarnya menganut
agama islam, namun mereka tidak menjalankan kewajiban-kewajiban sebagai muslim,
seperti shalat dan puasa, namun mereka tidak menghindar dari kewajiban
berzakkat, sebagai salah satu kewajiban manusia. Mereka pun mengakui adanya
Tuhan yang mereka sebut dengan Gusti Allah, dan Nabi yang mereka sebut dengan
panggilan Kanjeng Nabi.
Saran :
Dengan mempelajari kebudayaan
Jawa ini, saya berharap, agar rekan-rekan dapat mengetahui lebih banyak hal
tentang kebudayaan-kebudayaan Jawa, yang selama ini mungkin kurang dikenal
masyarakat luas, karena hanya beberapa unsur kebudayaan Jawa saja yang dikenal
luas di masyarakat. Dan tentu saja sebagai kewajiban kami untuk memenuhi
kewajiban kami dalam mata kuliah kebudayaan Indonesia, semoga banyak manfaat
yang dapat dipetik dari makalah yang kami sajikan ini.